Rabu, 23 Maret 2016

Bolehkah Kita Berteman Dengan Non Muslim ?

Posted by Rifalafka  |  at  09.56.00

Bolehkah berteman dengan non muslim?

biasanya dalam suatu pertemanan ada salah satu dari teman kita yang memiliki agama lain (non muslim),lantas bagaimana berteman dengan non muslim dalam pandangan islam ?

Tentu saja berteman dengan non muslim dapat mempengaruhi seorang muslim. Bisa jadi kita mengikuti tingkah laku mereka yang jelek, bahkan bisa terpengaruh dengan akidah mereka. Ingatlah, sahabat itu bisa menarik dan mempengaruhi. Sebagaimana kata pepatah Arab,
الصَّاحِبُ سَاحِبٌ
“Yang namanya sahabat bisa menarik (mempengaruhi)”.
Ahli hikmah juga menuturkan,
يُظَنُّ بِالمرْءِ مَا يُظَنُّ بِقَرِيْنِهِ
“Seseorang itu bias dinilai dari siapakah yang jadi teman dekatnya.”
Hal di atas sejalan dengan hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (HR. Abu Daud no. 4833, Tirmidzi no. 2378, Ahmad 2: 344. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Hadits berikut dengan sangat jelas menuntun kita untuk memiliki teman duduk yang baik. Dari Abu Musa, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)
Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar mencari teman dari yang beriman. Dari Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِىٌّ
Janganlah bersahabat kecuali dengan orang beriman. Janganlah yang memakan makananmu melainkan orang bertakwa.” (HR. Abu Daud no. 4832 dan Tirmidzi no. 2395. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Al ‘Azhim Abadi menyatakan hadits yang dimaksud adalah dilarang bersahabat dengan orang kafir dan munafik karena berteman dengan mereka hanyalah membahayakan agama seseorang. (‘Aunul Ma’bud, 13: 115)
Bahkan setiap orang akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama dengan orang-orang yang ia cintai. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلاَّ جَاءَ مَعَهُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ
Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum melainkan ia akan datang bersama mereka pada hari kiamat.” (HR. Abu Ya’la no. 4666 dengan sanad yang shahih dan perawinya adalah perawi Bukhari-Muslim. Hadits ini memiliki jalur lain yang menguatkan. Lihat Majma’ Az Zawaid 1: 37 dan Silsilah Ash Shahihah no. 1387). Lantas kalau yang dicintai dan menjadi teman karib adalah orang kafir, bagaimana nasibnya kelak?
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah mengungkapkan, “Makan bersama orang kafir tidaklah haram jika memang dibutuhkan atau ada maslahat yang syar’i. Namun non muslim sama sekali tidak boleh dijadikan sahabat, sampai makan bersama mereka tanpa ada sebab yang dibenarkan atau tidak ada maslahat. Akan tetapi, jika ada hajat seperti makan bersama tamu atau untuk mendakwahi mereka memeluk Islam, mengajak mereka pada kebenaran, serta sebab lainnya, maka tidaklah masalah.
Kalau dibolehkan makan makanan ahli kitab, bukan berarti boleh menjadikan mereka sebagai teman karib dan teman duduk. Jadi, itu bukan pembolehan untuk bersama-sama dengan mereka dalam makan dan minum tanpa ada hajat dan maslahat.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz, 9: 329).
hmmm.....
lalu bagaimana hukum tentang membenci teman kita yang non muslim ? apakah kita harus membencinya juga ?simak langsung aja penjelasannya....

Tidak Cinta pada Non Muslim

Prinsip ini diajarkan oleh para ulama, di mana mereka berkata, “Umat Islam memiliki prinsip wala’ dan bara’.Wala’ yaitu setia pada orang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Bara’ artinya berlepas diri dari orang yang kafir terhadap Allah dan Rasul-Nya di mana pun itu. Sedangkan orang yang dalam dirinya ada keimanan dan kefasikan (gemar berbuat dosa), maka kesetiaan padanya sekadar dengan keimanan yang ia miliki dan tidak loyal padanya sekadar dengan kemaksiatan yang ia lakukan. Sebagaimana kita sebagai muslim beriman bahwa siapa yang loyal pada agama selain Islam membuat tauhid dan imannya berkurang.” (Maa Laa Yasa’u Al Muslim Jahluhu, hal. 48).
Contohlah sikap Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang ia tampakkan sebagai tanda ketidaksetiaan beliau pada non muslim. Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al Qur’an,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al Mumtahanah: 4).
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhahullah mengungkapkan pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa yang dimaksud Nabi Ibrahim dan yang bersamanya yang disebutkan dalam ayat di atas adalah Nabi Ibrahim dan para nabi lainnya. Namun ada pula ulama yang mengemukakan pendapat bahwa yang dimaksud adalah pengikut Nabi Ibrahim ‘alaihis salam –kholilullah (kekasih Allah)-. (Tafsir Juz Qad Sami’a, hal. 155).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala menyeru hamba-Nya yang beriman untuk menyatakan permusuhan, menjauh dan berlepas diri dari orang musyrik. Inilah yang jadi prinsip dari Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan para pengikutnya yang beriman. Ibrahim menyatakan terang-terangan pada kaumnya bahwa ia berlepas diri dari mereka dan dari segala yang mereka sembah selain Allah. Ibrahim mengingkari jalan beragama mereka –orang musyrik-. Mulai saat itu beliau pun menyatakan permusuhan dan kebencian dengan mereka. Ketidakloyalan tersebut tetap terus ada selama mereka dalam kekufuran sampai mereka mau beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik, juga melepas patung dan berhala yang mereka jadikan sebagai tandingan bagi Allah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 245).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menyatakan, “Ibrahim ‘alaihis salam dan pengikutnya yang beriman berlepas diri dari kaum musyrikin dan berlepas diri pula dari apa yang mereka sembah. Lalu dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim benar-benar menyatakan permusuhan. Ibrahim menyatakan permusuhan dan kebencian pada orang musyrik dari dalam hatinya, dan ia pun menghilangkan kecintaan pada mereka. Ia pun menyatakan permusuhan dengan ditunjukkan secara lahiriyah. Permusuhan ini berlaku selamanya, tanpa dibatasi waktu.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 856).
Dalil lainnya yang menunjukkan seorang muslim tidak boleh menampakkan sikap loyal, cinta atau setia pada non muslim adalah firman Allah Ta’ala,
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas dengan menyampaikan statement, “Orang-orang beriman tidaklah mencintai orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka adalah kerabat dekat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 212).
Dalam ayat, yang dimaksud walau itu bapak mereka adalah kisah Abu ‘Ubaidah yang membunuh ayahnya saat perang Badar. Walau itu anaknya, yaitu kisah seorang putra yang bernama ‘Abdurrahman yang dibunuh bapak kandungnya dalam peperangan. Walau itu saudaranya, yaitu kisah Mush’ab bin ‘Umair waktu ia membunuh saudaranya ‘Ubaid bin ‘Umair. Walau itu kerabatnya, yaitu kisah ‘Umar yang membunuh keluarga dekatnya, begitu pula kisah Hamzah, Ali, ‘Ubaidah bin Al Harits yang membunuh kerabatnya, yaitu ‘Utbah, Syaibah dan Al Walid bin ‘Utbah. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 212-213)
Karena kekaguman Umar bin Al Khattab pada Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin ‘Abdillah bin Al Jarroh yang membunuh bapak kandungnya sendiri yang kafir, sampai-sampai ‘Umar berkata, “Seandainya Abu ‘Ubaidah masih hidup tentu kekhalifahan akan kuserahkan untuknya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 212).
Dapatkah kita mendahulukan rasa cinta pada Allah dari rasa cinta pada kerabat yang menjadi musuh Allah?! Sungguh mengagumkan yang dicontohkan oleh para salaf, iman mereka benar-benar jujur.
Ayat yang membicarakan tentang tidak bolehnya patuh pada non muslim adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran: 28).
Yang dimaksud dengan ayat ini adalah larangan bagi orang beriman untuk bersikap loyal (setia) pada non muslim, tidak boleh mencintai dan menolong mereka, atau bekerja sama dengan mereka untuk mencelakakan kaum muslimin. Demikian penjelasan Syaikh As Sa’di rahimahullah dalam Taisir Al Karimir Rahman, hal. 127.
Allah pun telah melarang menjadikan orang musyrik dan yang memusuhi Allah sebagai wali dan kekasih. AllahTa’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajarkan prinsip wala’ dan bara’. Dari ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan lantang (tidak lirih),
أَلاَ إِنَّ آلَ أَبِى – يَعْنِى فُلاَنًا – لَيْسُوا لِى بِأَوْلِيَاءَ إِنَّمَا وَلِيِّىَ اللَّهُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ
Sesungguhnya keluarga Abu Fulan bukanlah kekasihku. Sesungguhnya kekasih setiaku adalah orang shalih yang beriman.” (HR. Muslim no. 215). Abu Fulan di sini maksudnya penyebutan yang disamarkan karena khawatir ada efek negatif jika nama tersebut tetap disebut.
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa yang dimaksud “waliyyiya” adalah orang shalih, itulah yang jadi kekasih dan teman setia walau jauh nasabnya. Yang jadi kekasih bukanlah orang yang tidak shalih walaupun nasabnya dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Nawawi juga menuturkan bahwa hadits ini mengandung pelajaran pula untuk berlepas diri dari orang-orang yang menyimpang dan setia pada orang shalih. Kesetiaan atau keloyalan semacam itu boleh dinyatakan terang-terangan selama tidak timbul kerusakan. LihatSyarh Shahih Muslim, 3: 77.

sumber : M.Abdul Tuasikal ,Msc

Tagged as:
About the Author

Write admin description here..

0 komentar:

Artikel Populer

  • Tata Cara Fardhu 5 Waktu Lengkap Dengan Gerakannya
    Riantocha tentang - Bacaan Sholat Fardhu 5 Waktu Lengkap Dengan Gerakannya, pengertian sholat fardhu, makalah…
  • Nama Nama Allah SWT (Ar - Rahman)
    Assalamualaikum wr.wb. hallo sahabat spega , udah lama gak ngepos nih. yaudah deh sekarang saya akan mengeposkan…
  • Kisah Penjual Susu
    Di malam yang pekat dan angin dingin semilir menusuk, Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab sedang menelusuri kota…
  • Pengertian Asmaul Husna (al- Bashir)
    Oke Teman teman kali ini kita akan membahas tentang al bashir. Al-Basir artinya maha melihat. Allah Maha…
  • Kapan Kita Baru Puasa Syawal
    Kapan Mulai Puasa Syawal? Kapan mulai puasa Syawal? Apakah di awal Syawal ataukah boleh diakhirkan? Dari Abu…

Popular Posts



We have detected the following streams on this page, which one would you like to test?

No Videos Found.

© StreamTest.net All Rights Reserved